CLOCK

Minggu, 06 Februari 2011

NASIB PARA TKI


Tulisan ini sengaja saya buka dengan
kisah sedih yang sering di alami oleh
saudara-saudara kita yang mendapat
gelar “Pahlawan Devisa ” dari pemerintah dan media massa. Setiap
tahun mereka menyumbang devisa
ke negara lebih dari 100 triliun.
Bandingkan dengan sumbangan PT
Freeport Indonesia yang hanya
mencapai 2.5 triliun per tahun, tetapi mendapatkan jaminan keamanan
yang sangat luar biasa. Besarnya
nilai sumbangan devisa dari para TKI
bukannya membuat pemerintah
terbuka mata hati dan nuraninya
untuk berpihak dan memberikan jaminan perlindungan pada TKI, tapi
malah membuat pemerintah mati
rasa. Pemerintah takut kehilangan
nilai devisa yang begitu besar
sehingga rela melacurkan harga diri
dan martabat bangsa. Pemerintah seakan-akan merelakan citra bangsa
dan kehormatan wanita-wanita. Indonesia terpuruk di injak-injak
oleh bangsa lain.

Banyaknya kasus kekerasan dan
ketidakadilan terhadap TKI yang
terus berlangsung hingga kini, belum
juga mampu membangunkan
pemerintah dari mati nuraninya.
Pimpinan negeri ini seakanmenutup mata dan telinga terhadap kasus TKI
yang dibunuh, diperkosa, disiksa
hingga mengalami cacat seumur
hidup, gaji yang tidak dibayar,
paspor ditahan, dijadikan budak oleh
majikan-majikan mereka dan masih banyak kejahatan diskriminasi
lainnya yang di alami oleh TKI di luar
negeri seperti gaji yang jauh lebih
rendah di bandingkan dengan TKI
dari Filipina dan negara lain.
Mengapa banyaknya kasus ketidakadilan dan kejahatan
terhadap TKI yang terus berlangsung
ini belum juga mampu
membangunkan rasa kemanusiaan
pimpinan negeri ini? Memang layak
untuk dipertanyakan, terbuat dari apakah hati dan nurani pimpinan
negeri ini?

Atau mungkin pemerintah sengaja
membiarkan kasus perbudakan
modern ini terus berlangsung demi
mengamankan devisa negara. Ya,
mengamankan ratusan triliun rupiah
yang setiap tahunnya mengalir deras ke tanah air. Jika itu alasan
pemerintah, betapa malangnya nasib
pahlawan devisa ini. TKI telah
mengalami penderitaan lahir dan
batin yang teramat panjang.
Rangkaian penderitaan mereka sudah dialami sejak masih berada di
negerinya sendiri. Lihatlah, calo-calo
TKI berkeliaran di pelosok-pelosok
desa, identitas mereka dipalsukan,
ditampung di tempat-tempat yang
tidak manusiawi, biaya keberangkatan dimarkup, pungutan
liar (pungli) di bandara oleh sindikat
berseragam. Agar tindakan pungli
oleh sindikat berseragam lebih
nyaman maka disediakan terminal
khusus.

Dalam hal ini, pemerintah seakan
menganggap TKI hanyalah sebuah
komoditas yang bisa diperjual
belikan. Padahal TKI adalah sosok
manusia yang juga memiliki harkat
dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi HAM nya. Sebutan
pahlawan devisa yang diagung-
agungkan oleh pemerintah lewat
berbagai media sepertinya hanya
basa-basi belaka. Terbukti,
pemerintah tidak pernah peduli terhadap kesejahteraan mereka yang
disebut pahlawan ini.

Pemerintah hanya peduli terhadap
devisa yang disumbangkan oleh TKI
dan melalaikan tugas untuk
memberikan perlindungan dan jaminan kesejahteraan.
Untuk
menggenjot peningkatan devisa
tersebut, pemerintah berusaha
menempatkan TKI sebanyak-
banyaknya ke berbagai negara.

Sayangnya, langkah pengiriman ini tidak diimbangi oleh jaminan
perlindungan hukum dan
kesejahteraan baik sebelum
keberangkatan, saat bekerja di luar
negeri dan saat kepulangan hingga
tempat tujuan. Sehingga kasus kekerasan dan ketidakadilan
terhadap TKI terus berulang. Sepertinya cerita perbudakan
modern terhadap TKI adalah sebuah
sinetron bersambung yang semua
pemerannya tidak tahu kapan akan
berakhir. Semua hanya bisa
menunggu kembalinya hati nurani dan rasa kemanusiaan pimpinan
negeri ini untuk mensejahterakan
dan melindungi warga negaranya
dari perbudakan.

Negeri ini sangat
membutuhkan pemimpin yang
berani bersikap tegas, memiliki hati nurani yang bersih dan mampu
mengangkat harkat dan martabat
bangsa di mata dunia internasional.
Negeri ini membutuhkan pemimpin
yang paham fungsi dan tugas
negara. Jika tidak ada, maka kita memang layak menjadi bangsa yang
lemah, dihina, dan tidak punya harga
diri di mata internasional.
Seharusnya negara malu pada para
TKI, yang telah membantu
mengurangi pengangguran dan kemiskinan di negeri ini melalui
tetesan keringat, butiran air mata
dan kucuran darah yang penuh
keikhlasan. Melalui uang TKI yang
mengalir deras ke pelosok-pelosok
desa telah membantu pemerintah menggerakkan ekonomi rakyat
pedesaan.

Sudah seharusnya atau
boleh di bilang wajib hukumnya jika
pemerintah mulai berpihak pada
para TKI dengan memberikan
perlindungan sejak perekrutan, penampungan, keberangkata, saat
bekerja hingga kembali ke tanah air.
Pemerintah juga sudah saatnya
memberikan pelayanan terbaik yang
tidak diskriminatif dan jaminan
kesejahteraan pada anak dan keluarga TKI. Sehingga tetesan darah
dan keringat TKI untuk
meningkatkan devisa negara layak
dihargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar